http://www.pacificplace.co.id/media/BRI-400x277.jpg |
Adakah perusahaan nasional yang usianya di atas seratus tahun?
Pertanyaan itu sering diajukan para akademisi kepada saya. Susah juga mencarinya. Di negara-negara industri, itu sudah biasa.
Di
Finlandia misalnya ada Nokia (150 tahun). Tetapi Nokia hanya menekuni bisnis
gadget ponsel sekitar 21 tahun. Selebihnya perusahaan berumur panjang itu
produk dan misi usahanya sudah jauh berubah.
Di
Amerika Serikat (AS), pernah ada Kodak, tapi kini sudah mati. Juga ada WR
Grace. Perusahaan ini berlokasi di Columbia, Maryland, AS, dengan bisnis utama
bahan-bahan kimia.
Semuanya
juga berubah, mengikuti zaman. Di Jepang ada Mitsui. Kalau di Jerman, persisnya
di Munich, mungkin Anda cukup familiar dengan nama Siemens.
Adakah
di Indonesia? Tentu ada. Hanya saja kebanyakan sudah terseok-seok dimakan
usia. Misalnya, beberapa pabrik gula warisan Belanda.
Kalau
Pertamina yang minggu lalu berulang tahun, baru merayakan usia ke 58. Meski
belum seabad, lumayan menghibur karena ia sudah ada di Fortune 500 dan cukup
sehat.
Jadi,
siapa yang sudah lebih dari 100 tahun dan masih sehat?
Sengaja
tulisan ini saya turunkan hari ini, karena hari ini ada perusahaan nasional
yang merayakan usia ke-120, namun tetap gesit berinovasi. Bahkan bidang
usahanya tak bergeser dari misi semula: microfinancing.
Seorang
ilmuwan Amerika pernah mengatakan, harusnya yang diganjar hadiah Nobel bukan
Moh Yunus, melainkan mendiang Raden Aria Wirya Atmadja. Sebab itulah tonggak
awal sejarah microfinance yang mengilhami Yunus.
Tonggak
sejarah itu berawal pada tanggal 16 Desember 1895, saat Raden Aria Wirya
Atmadja dan kawan-kawannya mendirikan “De Poerkertosche Hulp - en Spaarbank der
Inlandsche Hoofden” (Bank penolong dan tabungan bagi priyayi Poerwokerto)
disingkat menjadi “Bank Priyayi Poerwokerto”.
Bank
Penolong
Itulah cikal bakal
dan misi gerakan microfinancing Indonesia: menolong keuangan rakyat. Sedemikian
powerful-nya menolong ekonomi rakyat di sekitar Purwokerto,
sampai-sampai ia ditakuti Belanda karena dianggap mampu menggerakkan kekuatan
untuk melawan kolonialisme. Wajar kalau dalam perjalanannya ia pernah diambil
Belanda.
Tak heran kalau
itu pulalah yang mengantarkan masa kecil presiden ke 44 Amerika Serikat, Barack
Obama berkenalan dengan Indonesia.
Ibunya, Ann Dunham
datang ke Indonesia antara lain untuk meneliti tentang peranan microfinance dan
bank penolong rakyat ini.
Kini bank penolong
yang didirikan Raden Arya Wiryaatmaja itu dikenal sebagai PT Bank Rakyat
Indonesia Tbk (BRI) .
Anda tentu bisa
menyaksikannya dari dekat, karena dialah satu-satunya bank yang ada di hampir
setiap desa di tanah air, bahkan mungkin ada di setiap pasar tradisional.
Perusahaan ini masih sangat sehat bukan tanpa alasan. Lihat saja kinerjanya.
Sepanjang 2014,
BRI membukukan laba bersih Rp 24,2 triliun. Kalau salah satu ukuran kinerjanya
adalah besarnya angka penyaluran kredit, tahun lalu kredit yang disalurkan BRI
mencapai Rp 490,41 triilun.
Untuk tahun 2015,
di tengah kinerja perekonomian nasional yang kurang menggembirakan, BRI masih
menargetkan penyaluran kreditnya Rp503,6 triliun.
Baiklah, saya tak
mau mengajak Anda terlalu repot membaca angka-angka. Intinya, sampai kuartal
III-2015, semuanya tumbuh menggembirakan.
Pengakuan soal
kinerja ini juga datang dari majalah The Banker yang diterbitkan The Financial
Times yang pada awal Desember 2015 memberikan penghargaan Bank of The Year 2015
Indonesia.
Dikutip dari kompas.com
Oleh Prof Rhenald Kasali
@Rhenald_Kasali
0 komentar (comment):
Posting Komentar